Knowledge
Selasa, 14 Juni 2016
Sabtu, 07 November 2015
Review Book
MEMBUMIKAN ALQURAN MELALUI ILMU
MUNASABAH SEBAGAI INSTRUMEN PENAFSIRAN ALQURAN
Oleh: Priska Fatma Anggita
Judul Buku : Diskursus Munasabah
Alquran dalam Tafsir Al-Mishbah
Penulis : Dr. Hasani Ahmad
Said, M.A
Penerbit : AMZAH
Tahun Terbit : 2015
Halaman : 296
Kajian
tentang munasabah berawal dari kenyataan bahwa sistematika urutan ayat-ayat
atau surah-surah Alquran sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang
tidak berdasarkan pada kronologis turunnya. Salah satu mukjizat Alquran menurut penjelasan Surah Al-Nisa’
ayat 82 adalah tidak ada pertentangan sedikit pun dari sisi hubungan antara
ayat-ayat dan surah-surahnya. Alquran juga memiliki kemukjizatan berupa
hubungan antara bagian-bagiannya. Surah bertalian dengan surah sebelum ataupun
sesudahnya, serta ada keterkaitan makna dan tema sehingga terjadi
penyempurnaan. Semua itu terjadi lebih dari satu tema, dalam satu ayat atau
satu surah. Penjelasan dalam Surah Hud ayat 1 mengumpamakan Alquran susunannya
laksana sebuah hubungan yang kokoh. Sementara itu, Surah Al-Zumar ayat 23
dipahami bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dibandingkan dengan Alquran.
"Kajian terhadap Alquran dan hadis telah berjalan dalam sejarah yang cukup
panjang. Alquran adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal
kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, tidak hanya untuk
sekelompok manusia, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman.
Meskipun demikian, Alquran bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala hal.
Alquran semestinya tidak ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan
karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Alquran dengan realitas
sosial. Di satu pihak, Alquran diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan
transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya
begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Oleh sebab itu, seolah-olah
nilai-nilai Alquran yang dialamatkan kepada manusia berhadap-hadapan dengan
realitas itu. Oleh karena itu, perlu adanya tafsir untuk mengungkap,
menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip kandungan Alquran
tersebut.” dikutip dari buku yang berjudul Diskursus Munasabah Alquran karya Hasani
Ahmad Said tersebut.
Penulis juga menyampaikan bahwasanya membumikan Alquran merupakan sebuah
keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir, Alquran menerobos perkembangan zaman,
melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang
pluralistik karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan
manusia.
"Membumikan Alquran sesungguhnya tidak lain adalah melakukan upaya-upaya
terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai Alquran hidup dan
dipertahankan sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan
nilai-nilai Alquran sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-nilai
lokal dan universal di dalamnya." ujar penulis yang digelari sebagai
Doktor Terbaik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011 dalam Wisuda ke-83.
"Timbulnya ilmu munasabah ini bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan
ayat dan tertib surah demi surah Alquran sebagaimana yang terdapat dalam mushaf
sekarang (mushaf Utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushaf Al-Imam), tidak
didasarkan fakta kronologis. Persoalan inilah yang kemudian melahirkan kajian
munasabah dalam konteks ‘ulum Alquran.
Dalam perkembangannya, munasabah meningkat menjadi salah satu disiplin dari
ilmu Alquran. Ulama-ulama yang datang kemudian menyusun munasabah secara khusus."
ujar penulis yang juga tercatat sebagai doktor tercepat dan termuda pada masanya.
Dalam
buku ini, penulis menjelaskan kajian mendalam berkenaan dengan munasabah
Alquran telah sering dilakukan oleh beberapa kalangan ulama ‘ulum Alquran dari
klasik sampai pramodern. Di antaranya
Abu Bakar Al-Naisaburi (w. 324 H), Imam Al-Zarkasyi (745-794 H), Ibnu Ahmad bin
Ibrahim Al-Andalusi (w. 807 H), Al-Suyuthi (849-911 H/1455-1505 M), Burhanudin
Al-Biqa`i (w. 885 H/1480 M), dan Al-Zarqani (w. 1367 H). Tokoh yang bisa
dibilang pencetus pertama kajian munasabah adalah Al-Naisaburi (w. 324 H).
Namun, Muhammad Husain Al-Dzahabi memaparkan bahwa karya ini sayangnya sudah
tidak ditemukan lagi. Selanjutnya, paling tidak ada dua ulama klasik yang
dijadikan acuan dalam pemikiran munasabah, yaitu Al-Zarkasyi dan Al-Biqa`i.
Terdapat tiga bidang kajian yang mesti dibedakan, yaitu
teks orisinal Islam, pemikiran Islam yang dianggap sebagai bentuk interpretasi
atas teks, dan perwujudan praktik sosio-historis yang berbeda-beda. Modernitas
yang didefinisikan sebagai jalan hidup (way of life)
industrial dan urban khususnya berpihak kepada susunan konsep Barat yang
berakar pada abad XIX Masehi.
"Meskipun demikian,
muslim saat ini enggan menerima modernitas kontemporer dengan alasan bahwa
sebagian besar nilai-nilainya bertentangan dengan Islam atau berasal dari
legislasi manusia. Oleh karena itu, menjadi penting di sini untuk menilai dan
mengurai tinjauan ilmuwan kontemporer dalam konteks munasabah Alquran. Di
antara sarjana kontemporer yang mempunyai banyak perhatian terhadap kajian
Alquran adalah amin Al-Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalafullah
(1895-1998), Aisyah Abdirrahman Bintu Al-Syathi` (1913-1998), Muhammad Arkoun
(1. 1928), Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010), Muhammad Abid Al-Jabiri (1. 1936),
Hassan Hanafi (1. 1935), Muhammad Syahrur (1. 1938), Fazlur Rahman (1919-1988),
Manna` Al-Qaththan (1345-1420 H/1925-1999 M), dan Sa`id Hawwa. Tokoh yang bisa
dikatakan pengkaji ‘ulum
Alquran kontemporer ini sebagian besar memiliki berbagai bekal metodologi baru
dan mencoba mendekati Alquran dengan kacamata baru. Meskipun produk dari kajian
mereka tersebut, baik setuju maupun tidak, baik mengundang pro maupun kontra;
yang jelas studi mereka terhadap Alquran menyegarkan dan menggairahkan kembali
diskursus Islamic
studies yang selama ini lesu atau mungkin dianggap sebagian kalangan sudah
mapan dan final." demikian tanggapan penulis yang saat ini bertugas
sebagai Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
Dijelaskan
dalam buku ini bahwa Alquran menyatakan dirinya sebagai kitab yang terhindar
dari keraguan (la
raiba fih), dijamin autentisitasnya (wa inna lahu
lahafizhun), dan bahkan sampai saat ini tidak ada kitab tandingannya (‘ala an ya’tu
bimitsli hadza Al-Qur’an la ya’tuna bimitslih). Meskipun demikian, telah
terjadi pergeseran cara pandang di kalangan sarjana terhada Alquran sejak
sebelum akhir abad XX. Huston Smith dalam The World’s Religionsmengatakan bahwa belum pernah ada kitab dalam khazanah keagamaan pada
kebudayaan lain yang demikian sulit dimengerti oleh orang Barat, selain
Alquran.
"Mengenai serangan orientalis terhadap Alquran,
mereka menghujat serta meragukan penulisan dan kompilasinya. Para ilmuwan Barat
tidak sependapat bahwa susunan teks Alquran, baik ayat maupun surahnya, yang
ada di tangan kita sekarang sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi
Muhammad. Pertanyaan lain orientalis lainnya adalah mengapa tulisan-tulisan
yang berbentuk suhuf, tidak langsung disimpan sendiri oleh Nabi dan mengapa
Zaid bin Tsabit yang ditunjuk sebagai pencatat kodifikasi Alquran, seolah tidak
siap dengan hilangnya beberapa ayat dari Surah Bara’ah. Walaupun sudah
diketahui bahwa peristiwa itu diabadikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Bukhari yang sudah dikenal kredibilitasnya di bidang hadis; ini semua tidak
diindahkan, bahkan dianggap palsu oleh orientalis." jelas Hasani yang
menyelesaikan studi S1 hingga S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan
konsentrasi Tafsir-Hadis dan juga aktif di dunia MTQ hingga menjuarai MTQ
Nasional.
"Terlihat ketertarikan
orientalis terhadap kajian Alquran begitu besar, terlepas dari usaha ingin
merekonstruksi Alquran. Sudah seharusnya kita termotivasi untuk selalu menjaga
dan mengkaji Alquran. Adapun munculnya stigma miring mengenai Alquran, tidak
melunturkan keimanan atau memurtadkan keyakinan kita karena upaya orang-orang
yang ingin mengubah Alquran terbukti sampai sekarang tidak berhasil.
Sebaliknya, animo untuk mengkaji Alquran dan meyakini kebenarannya semakin
tinggi." demikian pesan penulis yang juga merupakan Ketua redaktur Jurnal
Al-'Adalah (Jurnal Hukum Islam) Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung
dan Ketua Masyarakat Al-Qur'an Indonesia (MQi).
****
Buku ini menjelaskan dengan sangat terperinci
mengenai munasabah Alquran dari berbagai sudut pandang dan sumber, serta dengan
bukti-bukti yang nyata. Buku ini sangat berguna dan penting dibaca oleh para
kaum muslimin dan kaum yang mengkaji ilmu Alquran untuk menambah wawasan
tentang munasabah Alquran. Keunggulan buku ini diantaranya dalam setiap lembar
penulis selalu mencantumkan catatan kaki yang memudahkan pembaca untuk lebih
memahami bahasan dengan berbagai referensi. Bahasa yang digunakan penulis juga
sangat komunikatif, mudah dipahami, dan dapat tersampaikan dengan baik ke para
pembaca, cocok untuk kalangan awam. Informasi yang terdapat dalam buku ini pun
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Isi pembahasan dalam buku ini sangatlah
bermanfaat. Kekurangan buku ini hanya satu, yaitu kurangnya gambar-gambar menarik
yang berhubungan dengan pembahasan ini, sehingga bagi para pembaca awam dapat
dengan mudah mengalami kejenuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)