Sabtu, 07 November 2015

Review Book




MEMBUMIKAN ALQURAN MELALUI ILMU MUNASABAH SEBAGAI INSTRUMEN PENAFSIRAN ALQURAN

Oleh: Priska Fatma Anggita

Judul Buku      : Diskursus Munasabah Alquran dalam Tafsir Al-Mishbah
Penulis            : Dr. Hasani Ahmad Said, M.A
Penerbit          : AMZAH
Tahun Terbit    : 2015
Halaman         : 296


         Kajian tentang munasabah berawal dari kenyataan bahwa sistematika urutan ayat-ayat atau surah-surah Alquran sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya. Salah satu mukjizat Alquran menurut penjelasan Surah Al-Nisa’ ayat 82 adalah tidak ada pertentangan sedikit pun dari sisi hubungan antara ayat-ayat dan surah-surahnya. Alquran juga memiliki kemukjizatan berupa hubungan antara bagian-bagiannya. Surah bertalian dengan surah sebelum ataupun sesudahnya, serta ada keterkaitan makna dan tema sehingga terjadi penyempurnaan. Semua itu terjadi lebih dari satu tema, dalam satu ayat atau satu surah. Penjelasan dalam Surah Hud ayat 1 mengumpamakan Alquran susunannya laksana sebuah hubungan yang kokoh. Sementara itu, Surah Al-Zumar ayat 23 dipahami bahwa tidak ada perkataan yang lebih baik dibandingkan dengan Alquran.                      
           
            "Kajian terhadap Alquran dan hadis telah berjalan dalam sejarah yang cukup panjang. Alquran adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, tidak hanya untuk sekelompok manusia, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Meskipun demikian, Alquran bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala hal. Alquran semestinya tidak ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Alquran dengan realitas sosial. Di satu pihak, Alquran diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Oleh sebab itu, seolah-olah nilai-nilai Alquran yang dialamatkan kepada manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu. Oleh karena itu, perlu adanya tafsir untuk mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip kandungan Alquran tersebut.” dikutip dari buku yang berjudul Diskursus Munasabah Alquran karya Hasani Ahmad Said tersebut. 

               Penulis juga menyampaikan bahwasanya membumikan Alquran merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab suci terakhir, Alquran menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik karena memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia.

           "Membumikan Alquran sesungguhnya tidak lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di dalam masyarakat agar nilai-nilai Alquran hidup dan dipertahankan sebagai faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan nilai-nilai Alquran sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-nilai lokal dan universal di dalamnya." ujar penulis yang  digelari sebagai Doktor Terbaik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011 dalam Wisuda ke-83.

               "Timbulnya ilmu munasabah ini bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah Alquran sebagaimana yang terdapat dalam mushaf sekarang (mushaf Utsmani atau yang lebih dikenal dengan mushaf Al-Imam), tidak didasarkan fakta kronologis. Persoalan inilah yang kemudian melahirkan kajian munasabah dalam konteks ‘ulum Alquran. Dalam perkembangannya, munasabah meningkat menjadi salah satu disiplin dari ilmu Alquran. Ulama-ulama yang datang kemudian menyusun munasabah secara khusus." ujar penulis yang juga tercatat sebagai doktor tercepat dan termuda pada masanya.

              Dalam buku ini, penulis menjelaskan kajian mendalam berkenaan dengan munasabah Alquran telah sering dilakukan oleh beberapa kalangan ulama ‘ulum Alquran dari klasik sampai pramodern. Di antaranya Abu Bakar Al-Naisaburi (w. 324 H), Imam Al-Zarkasyi (745-794 H), Ibnu Ahmad bin Ibrahim Al-Andalusi (w. 807 H), Al-Suyuthi (849-911 H/1455-1505 M), Burhanudin Al-Biqa`i (w. 885 H/1480 M), dan Al-Zarqani (w. 1367 H). Tokoh yang bisa dibilang pencetus pertama kajian munasabah adalah Al-Naisaburi (w. 324 H). Namun, Muhammad Husain Al-Dzahabi memaparkan bahwa karya ini sayangnya sudah tidak ditemukan lagi. Selanjutnya, paling tidak ada dua ulama klasik yang dijadikan acuan dalam pemikiran munasabah, yaitu Al-Zarkasyi dan Al-Biqa`i.

          Terdapat tiga bidang kajian yang mesti dibedakan, yaitu teks orisinal Islam, pemikiran Islam yang dianggap sebagai bentuk interpretasi atas teks, dan perwujudan praktik sosio-historis yang berbeda-beda. Modernitas yang didefinisikan sebagai jalan hidup (way of life) industrial dan urban khususnya berpihak kepada susunan konsep Barat yang berakar pada abad XIX Masehi. 

 "Meskipun demikian, muslim saat ini enggan menerima modernitas kontemporer dengan alasan bahwa sebagian besar nilai-nilainya bertentangan dengan Islam atau berasal dari legislasi manusia. Oleh karena itu, menjadi penting di sini untuk menilai dan mengurai tinjauan ilmuwan kontemporer dalam konteks munasabah Alquran. Di antara sarjana kontemporer yang mempunyai banyak perhatian terhadap kajian Alquran adalah amin Al-Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalafullah (1895-1998), Aisyah Abdirrahman Bintu Al-Syathi` (1913-1998), Muhammad Arkoun (1. 1928), Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010), Muhammad Abid Al-Jabiri (1. 1936), Hassan Hanafi (1. 1935), Muhammad Syahrur (1. 1938), Fazlur Rahman (1919-1988), Manna` Al-Qaththan (1345-1420 H/1925-1999 M), dan Sa`id Hawwa. Tokoh yang bisa dikatakan pengkaji ‘ulum Alquran kontemporer ini sebagian besar memiliki berbagai bekal metodologi baru dan mencoba mendekati Alquran dengan kacamata baru. Meskipun produk dari kajian mereka tersebut, baik setuju maupun tidak, baik mengundang pro maupun kontra; yang jelas studi mereka terhadap Alquran menyegarkan dan menggairahkan kembali diskursus Islamic studies yang selama ini lesu atau mungkin dianggap sebagian kalangan sudah mapan dan final." demikian tanggapan penulis yang saat ini bertugas sebagai Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

        Dijelaskan dalam buku ini bahwa Alquran menyatakan dirinya sebagai kitab yang terhindar dari keraguan (la raiba fih), dijamin autentisitasnya (wa inna lahu lahafizhun), dan bahkan sampai saat ini tidak ada kitab tandingannya (‘ala an ya’tu bimitsli hadza Al-Qur’an la ya’tuna bimitslih). Meskipun demikian, telah terjadi pergeseran cara pandang di kalangan sarjana terhada Alquran sejak sebelum akhir abad XX. Huston Smith dalam The World’s Religionsmengatakan bahwa belum pernah ada kitab dalam khazanah keagamaan pada kebudayaan lain yang demikian sulit dimengerti oleh orang Barat, selain Alquran.

"Mengenai serangan orientalis terhadap Alquran, mereka menghujat serta meragukan penulisan dan kompilasinya. Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks Alquran, baik ayat maupun surahnya, yang ada di tangan kita sekarang sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad. Pertanyaan lain orientalis lainnya adalah mengapa tulisan-tulisan yang berbentuk suhuf, tidak langsung disimpan sendiri oleh Nabi dan mengapa Zaid bin Tsabit yang ditunjuk sebagai pencatat kodifikasi Alquran, seolah tidak siap dengan hilangnya beberapa ayat dari Surah Bara’ah. Walaupun sudah diketahui bahwa peristiwa itu diabadikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari yang sudah dikenal kredibilitasnya di bidang hadis; ini semua tidak diindahkan, bahkan dianggap palsu oleh orientalis." jelas Hasani yang menyelesaikan studi S1 hingga S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan konsentrasi Tafsir-Hadis dan juga aktif di dunia MTQ hingga menjuarai MTQ Nasional.

"Terlihat ketertarikan orientalis terhadap kajian Alquran begitu besar, terlepas dari usaha ingin merekonstruksi Alquran. Sudah seharusnya kita termotivasi untuk selalu menjaga dan mengkaji Alquran. Adapun munculnya stigma miring mengenai Alquran, tidak melunturkan keimanan atau memurtadkan keyakinan kita karena upaya orang-orang yang ingin mengubah Alquran terbukti sampai sekarang tidak berhasil. Sebaliknya, animo untuk mengkaji Alquran dan meyakini kebenarannya semakin tinggi." demikian pesan penulis yang juga  merupakan Ketua redaktur Jurnal Al-'Adalah (Jurnal Hukum Islam) Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung dan Ketua Masyarakat Al-Qur'an Indonesia (MQi).

****
 Buku ini menjelaskan dengan sangat terperinci mengenai munasabah Alquran dari berbagai sudut pandang dan sumber, serta dengan bukti-bukti yang nyata. Buku ini sangat berguna dan penting dibaca oleh para kaum muslimin dan kaum yang mengkaji ilmu Alquran untuk menambah wawasan tentang munasabah Alquran. Keunggulan buku ini diantaranya dalam setiap lembar penulis selalu mencantumkan catatan kaki yang memudahkan pembaca untuk lebih memahami bahasan dengan berbagai referensi. Bahasa yang digunakan penulis juga sangat komunikatif, mudah dipahami, dan dapat tersampaikan dengan baik ke para pembaca, cocok untuk kalangan awam. Informasi yang terdapat dalam buku ini pun akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Isi pembahasan dalam buku ini sangatlah bermanfaat. Kekurangan buku ini hanya satu, yaitu kurangnya gambar-gambar menarik yang berhubungan dengan pembahasan ini, sehingga bagi para pembaca awam dapat dengan mudah mengalami kejenuhan.